Selasa, 28 Oktober 2008

Pisowanan Agung
















Senin, 15 September 2008

Kesenian Kampung



Beberapa waktu yang lalu, Kampung Nyutran RW 21 menyelenggarakan malam pentas seni memperingati Hari Kemerdekaan RI yang ke-63. Pada acara puncak tersebut salah satunya menampilkan Kesenian berupa Kroncong Brayat Minulyo Plus dari Kampung Nyutran dan Kesenian Thek-Thek Laras Budaya dari Semaki Gede. Tema besar acara ini adalah menguatkan potensi ekonomi lokal kerakyatan untuk menyiasati globalisasi. Kesenian Kampung adalah salah satu aset yang harus kita banggakan dan didukung serta difasilitasi agar keberadaannya bisa menjadi sumber ekonomi juga bagi warga kampung tersebut.
Pancasila yang ber-Bhinnekha Tunggal Ika harus terus kita gaungkan dan terapkan karena Dasar Negara Indonesia ini merupakan hasil pemikiran mahajenius dari para founding father kita. Upaya untuk menyejahterakan rakyat Indonesia sendiri adalah membeli produk Indonesia seperti hasil bumi, warung angkringan dan usaha kecil lainnya, juga mendukung kesenian tradisionalnya.

Jumat, 11 Juli 2008

Etnografi Kolam Air Tawar

Oleh: Septa Agung Kurniawan
Dalam antropologi, aliran Etnosains dapat dikatakan sebagai pendekatan yang menggunakan metode baru, walaupun dasar dari pendekatan ini tidaklah baru. Kita dapat merunutnya kembali pada Malinowski, yang pada tahun 1920-an telah mencanangkan bahwa tujuan terakhir seorang penulis (baca: ahli antropologi) adalah “to grasp the native’s point of view, his relation to life to realize his vision of his world” (Malinowski, 1961:25). Jadi sebenarnya lebih tepat dikatakan bahwa ethnoscience adalah “system of knowledge and cognition typical of given culture” (Sturtevant, 1964:99-100), bukannya metode penelitian. Penekanannya di sini adalah pada sistem pengetahuan, yang merupakan pengetahuan yang khas dari suatu masyarakat, dan berbeda dengan sistem pengetahuan masyarakat yang lain. Mengingat pengetahuan ini sangat luas lingkupnya, bisa menyangkut berbagai macam hal, maka dalam penelitiannya seorang ahli antropologi biasanya tidak akan menggali semua isi pengetahuan yang ada, melainkan hanya pengetahuan tentang hal-hal tertentu saja dalam kehidupan atau dunia mereka, yang dia minati.[1]
Etnometodologi yang saya baca dalam artikel tersebut saya pahami sebagai sebuah metodologi untuk menggali data dari etnis atau subyek penelitian yang sedang kita teliti. Metode ini digunakan oleh peneliti agar bisa mencari alur pola yang tetap yang dipakai oleh masyarakat pengguna budaya tersebut. Saya mencoba menerapkannya untuk meneliti komunitas mancing yang banyak terdapat di sekitar kita.
Mancing atau dalam Bahasa Inggrisnya fishing merupakan kegiatan yang dilakukan manusia untuk menangkap ikan menggunakan alat bantu berupa senar. Meskipun istilah untuk masing-masing daerah bisa berbeda namun esensi yang dimaksud sama. Seperti di Karimunjawa istilah mancing ini ada yang menyebutnya nonda yaitu menangkap ikan dengan menggunakan senar dan kail. Mancing inipun jika digali sejarahnya mungkin merupakan kegiatan yang hampir tuanya dengan usia peradaban manusia sendiri ketika menemukan peralatan untuk memancing. Kita tidak akan menggali sejarah itu karena akan memerlukan waktu penelitian yang panjang. Saya hanya mencoba memaknai ketika melihat dan mengamati orang memancing saja di sekitar kita dalam tempo singkat atau dengan metode rapid observation.
Melihat orang memancing, mereka tidak sembarangan membawa alat pancing. Pertimbangan pertama adalah tempat. Bisa juga dikatakan pertimbangan pertama adalah ruang dan waktu. Apakah di sungai, di kolam, dan di laut. Kemudian waktunya apakah itu pagi, siang, atau malam. Memancing di laut tentu saja akan membutuhkan persiapan yang lebih lengkap dan biaya yang lebih tinggi. Paling murah biayanya adalah kalau mancing di sungai karena hanya modal umpan dan peralatan mancing. Kita akan mengambil sampel di kolam saja yang berada di tengah-tengah untuk masalah biaya tadi. Setelah tempat, pertimbangan selanjutnya cara memperoleh ikan. Jika sudah mengetahui tempat maka ikan yang biasanya ada di situ apa? Itulah yang akan ditangkap oleh pemancing dengan membawa umpan yang sesuai.
Memancing di kolam ternyata juga tidak sama. Ada beberapa kolam pemancingan yang menerapkan membayar per-kilo, tebasan, dan harian. Sistem kilo-an yaitu para pemancing akan dikenai biaya dari jumlah per-kilo dari jenis ikan yang dia tangkap. Harga per-kilo ikan akan lain-lain. Misal, lele akan lain dengan bawal, gurame, greskap, nila, tawes,tombro. Sistem per-kilo ini juga bisa diterapkan oleh pemilik pemancingan untuk membuka warung makan sekitar kolam pemancingan jadi ikan yang didapat bisa langsung dimasak dan dimakan di tempat itu. Paling mahal per-kilonya biasanya ikan gurame karena ikannya paling enak menurut salah seorang informan. Sistem tebasan adalah menghabiskan semua ikan yang ada di dalam kolam. Jika para pemancing mulai mancing dari jam 8 pagi biasanya pukul 15.00 mereka akan mengakhiri kegiatan memancing mereka kemudian oleh pemilik kolam ikan yang tersisa akan dijaring untuk dibawa pulang oleh para pemancing. Sistem harian adalah memancing selama 12 jam. Misal seorang pemancing mulai jam 8 pagi maka dia akan selesai jam 8 malam berapapun ikan yang dia peroleh membayarnya tetap sama. Dari semua sistem memancing tersebut punya keuntungan dan kelebihan masing-masing. Bagi pemula akan lebih menguntungkan dengan sistem per-kilo, sebab berapapun yang dia dapat akan dikenakan sesuai dengan ikan hasil tangkapannya. Namun bagi yang sudah berpengalaman atau profesional dia akan memilih sistem harian karena jika dia dapat banyak dan ikannya besar-besar dia akan untung. Sistem tebasan biasanya dilakukan oleh mereka yang hanya ingin hura-hura dulu sebelum makan ikan dan biasanya dilakukan oleh rombongan 20 orang lebih yang sengaja membeli semua ikan yang ada di kolam.
Untuk umpan ternyata masing-masing ikan punya makanan kegemaran. Sehingga bagi para pemancing profesional mereka akan paham umpan apa yang akan mereka bawa untuk menangkap jenis ikan apa. Seperti misal ikan bawal akan lebih suka makan umpan cacing. Ikan greskap lebih suka makan umpan berupa nasi, rumput, lumut, atau bekatul. Ikan tombro hampir sama dengan ikan greskap. Untuk nila biasanya juga suka makan umpan cacing. Untuk gurameh, hampir semua umpan bisa digunakan cacing, nasi, lumut, ataupun bekatul. Namun ada beberapa pemancing profesional yang meramu umpan dari berbagai rajikan seperti nasi, dicampur parutan jagung yang sudah matang, ditambah tempe busuk untuk memancing tombro dan greskap. Namun ada juga yang meramu dengan cara mereka sendiri-sendiri ada yang menambahi dengan kotoran ayam bahkan kotoran manusia.
Peralatan memancing juga merupakan hal yang menjadi penentu utama dapat atau tidaknya ikan. Selain walesan, senar yang digunakan harus pas ukurannya, termasuk ukuran pancing. Semua komposisi dari walesan, senar, pancing, kambangan dan pemberat harus pas. Teknik-teknik seperti nyendal[2], narik[3], nguncalke[4], nggulung[5], dan ngajar[6] harus dikuasai secara benar oleh para pemancing. Setelah mendapat ikan, ikan-ikan tersebut akan dimasukkan dalam kepis. [7] Selain harus menguasai teknik yang benar para pemancing juga harus paham aturan main dan sopan santun dalam kolam. Misal jika ada pemancing yang sudah nguncalke umpan maka pemancing lain senarnya tidak boleh menyilang atau numpang di atas pemancing yang sudah nguncalke lebih dulu. Selain itu ikan yang sudah berhasil terpancing tidak boleh dikembalikan lagi ke kolam.
Dari beberapa informan yang saya tanya ternyata dalam memancing mereka juga punya motivasi yang berbeda. Si A misal, dia suka mancing tiap sabtu untuk menghilangkan suntuk setelah seminggu bekerja berat dan pikiran stress. Dengan memancing, dia bisa melatih kesabarannya dan merefleksikan apa yang sudah dilakukan selama seminggu dan dia bisa segar lagi pikirannya di hari senin kemudian. Si B agak berbeda dengan A, dia suka mancing tiap minggu untuk mencari lauk makan buat anak dan istrinya untuk beberapa hari ke depan. Si C suka mancing karena ingin mempelajari masing-masing tempat pemancingan dan menerapkan teorinya yang dipunya misal apakah perlu pakai umpan apa di kolam ini, terus perlu pakai senar neklin apa tidak? Yang jelas motivasinya adalah hobi. Si D suka memancing karena ingin belajar dari para tetangganya yang sudah dicapnya sebagai pemancing profesional sedang dirinya adalah baru pemancing pemula. Si E memancing sebagai alasan agar dia bisa pacaran berdua bersama pacarnya di tepi kolam pemancingan. Si F berangkat mancing bersama anaknya yang masih TK untuk memperkenalkannya pada lingkungan dan agar anaknya nanti menyukai alam. Dari semua motivasi memancing itu ternyata banyak ragamnya sesuai kebutuhan mereka. Jadi mancing ternyata tidak hanya menangkap ikan dengan senar tapi banyak motivasi di baliknya.
Dari sisi pemilik kolam sendiri, ikan adalah sumber ekonomi. Dia memanajemen kolamnya dan menghitung untung ruginya dengan sistem yang diterapkan apakah akan dijadikan kolam kiloan, harian, atau tebasan, dia sudah punya pertimbangan ekonomi sendiri selama beberapa tahun berkecimpung di dunia perikanan. Sehingga dia paham bagaimana pembibitan dan pembesaran ikan serta kolam mana yang dialokasikan untuk pemancingan. Bisa juga dia hanya menyediakan kolam saja dan jika ikan habis dia akan langsung membeli ikan dari pedagang yang ikannya sudah besar-besar dan siap untuk dipancing.
Mancing akan membentuk komunitas hobi yang diantara anggotanya saling kenal. Dari perkenalan itu mereka akan punya pola dan jadwal tertentu. Mereka akan saling tukar informasi kolam mana yang akan menyelenggarakan tebasan, harian, kiloan. Bahkan jika ada waktu tertentu akan ada juga lomba mancing yang diorganisir dan mengundang beberapa sponsor. Di situlah ajang para profesional unjuk gigi. Begitulah pola komunitas para pemancing kolam ikan air tawar. Jika melihat dan anda mencoba langsung praktek memancing di kolam ikan air tawar, percayalah anda akan bengong jika tidak belajar dulu dari yang sudah berpengalaman. Setiap manusia khususnya para pemancing akan menguasai dunia perpancingannya. Mereka tahu di kedalaman berapa kail harus diletakkan. Bagaimana mereka harus meramu umpan. Ikan jenis apa saja yang terdapat di kolam itu dari bentuk tubuhnya dilihat dari atas kolam mereka sangat paham betul karena itulah ilmu yang mereka pelajari selama bertahun-tahun.

[1] Ahimsa Putra, Heddy Shri, Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan dalam Jurnal Masyarakat Indonesia hal 110.
[2] Ketika kambangan terlihat tenggelam dimakan ikan, walesan harus disendal agar pancing segera menancap di bibir ikan.
[3] Setelah pancing tertancap, cara menarik senar juga harus benar.
[4] Menempatkan umpan pada posisi dan jarak yang diinginkan pemancing
[5] Menggulung senar
[6] Ikan yang sangat besar tidak bisa langsung digulung karena jika tidak hati-hati senar bisa putus, untuk menghindarinya maka ikan perlu dibuat lemas dulu di air baru setelah lemas bisa diangkat ke permukaan.
[7] Tempat ikan seperti jaring-jaring, bulat memanjang ke bawah biasanya diletakkan di depan pemancing, 2/3 tenggelam di kolam, 1/3 di permukaan dan diikatkan di salah satu cantolan di tepi kolam.

Boso Walikan


Bahasa merupakan alat komunikasi penting bagi manusia. Dengan bahasa, manusia bisa menyampaikan ide gagasannya kepada pihak lain yang memahami makna bahasa yang sama. Bahkan dalam penelitian lapangan bahasa berperan sangat penting, baik dalam penggalian data di lapangan maupun penulisan etnografisnya.
Dalam membuat etnografi, bahasa menyusun catatan lapangan kita dan masuk ke dalam setiap analisis dan wawasan. Bahasa menyerap pertemuan kita dengan informan. Pendekatan apa pun yang digunakan sang etnografer –pengamatan terlibat, wawancara etnografis, mengumpulkan kisah-kisah kehidupan, campuran dari berbagai strategi- bahasa muncul pada setiap fase dalam proses penelitian. Etnografer setidaknya harus berhadapan dengan dua bahasa : bahasa mereka sendiri dan bahasa yang digunakan oleh informan. Jika kita membagi pekerjaan etnografi menjadi dua tugas utama, yaitu penemuan (discovery) dan deskripsi, maka kita dapat melihat dengan jelas peran penting yang dimainkan oleh bahasa (Spradley, 1979).
Di Jogja selain Bahasa Indonesia yang umum digunakan di lingkup formal. Masyarakatnya sehari-hari juga menggunakan Bahasa Jawa. Bahasa Jawa ini masih dibagi lagi ke tingkat bahasa yang berbeda penggunaannya antara: kromo inggil, kromo alus dan ngoko. Kromo Inggil digunakan oleh Orang Jawa dalam konteks rakyat berbicara kepada ratunya. Juga bisa digunakan dalam konteks tingkat yang lebih rendah kepada tingkat yang lebih tinggi baik dalam struktur maupun usia. Misal Lurah kepada Bupati atau anak kepada ayahnya sebagai simbol penghormatan. Kromo Alus digunakan dalam konteks tingkat yang lebih tinggi ke yang lebih rendah. Sedangkan Ngoko digunakan dalam konteks yang sejajar horisontal. Misal sesama teman sebaya.
Selain ketiga tingkat golongan tadi, ada juga bahasa yang juga hidup sebagai bahasa kelompok tertentu. Bahasa ini adalah boso walikan. Bahasa ini dulu hanya digunakan oleh sekelompok masyarakat golongan kelas bawah sebagai simbol identitas mereka. Kadang orang tidak mengerti dengan bahasa ini yang juga semakin dipopulerkan oleh generasi mudanya. Misal sering di Jogja kita kenal istilah: dagadu, sahany, pisu, jape methe, poya lesgi, hire dab, dll. Bahasa ini sebenarnya diciptakan berdasarkan rumusan tertentu dalam hanacaraka (tulisan Aksara Jawa).
Rumusan itu sebagai berikut: dalam Aksara Jawa itu, deretan nomor satu akan dipasangkan dengan deretan nomor tiga. Kemudian deretan nomor dua akan dipasangkan dengan deretan nomor empat. Dalam Aksara Jawa resmi kita kenal sebagai berikut:
ha na ca ra ka
da ta sa wa la
pa da ja ya nya
ma ga ba tha nga
Untuk memudahkan memahami boso walikan tadi kita contohkan misal kata bapak. Kata ini terdiri dari ba-pa-k. Kita cari ba ada di baris ke 4 kolom 3 akan kita pasangkan dengan baris ke 2 kolom 3 yaitu sa. Kemudian pa ada di baris ke 3 kolom 1 akan kita pasangkan dengan baris pertama kolom 1 yaitu ha. Kemudian k ada di baris pertama kolom 5 akan kita pasangkan dengan baris ke 3 kolom 5 yaitu ny. Jadi boso walikan dari bapak= sahany.
Untuk contoh lain misal kata kowe (kamu), terdiri dari ko-we. Ko ada di baris pertama kolom 5. Kita pasangkan dengan baris ke 3 kolom 5 yaitu nyo. Terus we ada di baris ke 2 kolom 4, akan kita pasangkan dengan baris ke 4 kolom 4 yaitu the, Jadi boso walikan dari kowe= nyothe.
Demikianlah rumusan boso walikan yang kadang kita dengar di sela-sela percakapan anak muda di Jogja. Banyak pengguna bahasa ini adalah kelompok tertentu yang biasanya adalah kelas grass rott di Jogja (Akur).

Selasa, 13 Mei 2008

Mancing

Pagi itu aku tersentak kaget. Dering suara short message service terdengar dari handphoneku di samping bantal. Untung saja istriku tertidur lelap dan anakku yang belum berumur dua tahun itu tidak terbangun. Suara adzan subuh belum terdengar, berarti masih pagi benar. Kucoba mengusap mata untuk melihat jam di handphoneku, tapi masih samar-samar dan belum jelas. Mau tak mau akhirnya aku duduk juga. Memencet unlock kemudian tanda bintang, lalu open message. “Aduh ngapain ini Parto pagi-pagi sudah ngesems?” Batinku. “Yang, malam ini aku tak bisa tidur kangen banget sama kamu” Kubaca message itu lalu kuhapus.
Pipiku terasa basah di kanan dan kiri. Rasanya ada sepasang tangan yang menempel. Kubuka mataku pelan-pelan, muncul wajah istriku tepat di depanku. “Sudah subuh, sholat dulu sana!” Kelihatannya dia habis menanak nasi dan mencuci piring serta gelas yang kotor kemarin. Mungkin Hata Jora anakku terlalu rewel kemaren sehingga istriku tidak sempat mencuci piring. Kuberi nama Hata Jora merupakan kependekan dari hasil cinta Joyo dan Ratih istriku. Tadinya mau kunamai Hacin Jora tapi Hacin kelihatannya agak lucu lalu kutetapkan menjadi Hata. Hata Jora Lanjuni lengkapnya, hasil cinta Joyo dan Ratih di Bulan Juni. Setelah sholat kulihat anakku masih tertidur lelap, namun mengapa pagi-pagi istriku sudah berdandan dan terkesan manja banget. Jika sudah begitu biasanya akan ada serangan fajar pagi ini.
Akhir bulan, keuangan sudah menipis bahkan kanker. Sebagai penulis harus ada sesuatu karya yang diwujudkan agar bisa dimuat di koran minggu sehingga dapur bisa mengepul kembali dan penyakit kankerku sembuh. Tapi ditengah tengah kondisi harga susu yang semakin menonjol dan harga pisang yang ikut naik turun, membuat imajinasi semakin tidak jernih. Ditambah lagi Ratih jika akhir bulan akan selalu mengomel dari pagi. Jarang manja lagi dan yang diucapkannya selalu kata-kata itu. “Mbok ya cari pekerjaan yang tetap sehingga akhir bulan gini tidak semakin stress!” Jika sudah begitu jelas kondisi rumah sudah tidak memungkinkan lagi untuk menulis dan menghasilkan karya. Obat stress itu ternyata mahal, jika begitu aku akan mengajak Terong dan Toples untuk mancing dan bukannya menghasilkan sesuatu tapi malah menambah biaya pengeluaran. Tapi dengan melihat kambangan dan gemericik air apa lagi bisa mengangkat ikan besar bisa melupakan sejenak energi-energi negatif yang menghujam. Kadang di atas kolam aku bisa mengeluarkan semua sampah bawah sadarku yang tak mungkin kukeluarkan di rumah. “Yihaaaa……dapat besar sekaliiiii…!” Pulang ke rumah bisa bawa lauk untuk tiga hari dan selama tiga hari itu Ratih tak akan mengomel lagi dan aku bisa menulis.
“Mas Joyo lagi ngapain?” Walah ini Parto ngapain lagi masih ngesems terus. Kali ini Ratih dengar dan tanya “SMS dari siapa?” Kali ini aku harus jujur. “Dari Parto temanku di Bali kemaren.” Sebagai penulis aku tidak bisa menulis hanya di depan komputer terus, untuk mencari inspirasi aku perlu penelitian ke lokasi langsung. Melihat, mendengar, dan merasakan, mencium bau yang ada di sekitar lokasi tersebut. Kebetulan beberapa bulan yang lalu aku bersama delapan orang teman kuliah dulu akan menulis tentang Bali. Lama kami penelitian di sana sekitar 2 bulan lamanya. Ratih dulu pernah satu tim denganku waktu penelitian sehingga dia sudah paham jika kutinggal lama dan gara-gara penelitian juga aku bertemu dengan istriku dan akhirnya menikah dan baru punya anak satu Hata Jora Lanjuni. Dua bulan itu, kami berdelapan live in di suatu pulau di Bali di mana di sana ada tempat untuk konservasi penyu. Kedelapan temanku itu, Paijo, Paimin, Suradal, Ngatini, Partini, Jamilah, dan Parjilah. Untuk lebih efektif kami membagi diri menjadi dua tim: Aku, Paijo, Partini dan Parjilah tinggal di sekitar Bali Turtle Island Development. Sedangkan Paimin, Suradal, Ngatini, dan Jamilah tinggal di dekat Pura Sakenan. Kami masing-masing mencatat setiap detil kejadian dan pembicaraan yang kami lakukan selama dua bulan di Pulau Serangan tersebut.
Meskipun Ratih pernah satu tim penelitian denganku tapi tidak satu fakultas, bahkan tidak satu universitas. Dulu kami ikut penelitian di Proyek Survei Energi Alternatif Masyarakat selama dua bulan dan gara-gara terbiasa berdua itu mungkin cinta bersemi diantara kami lalu kami jadian dan selang tiga bulan kami menikah dengan biaya seadanya. Meskipun sudah tahu dunia penelitian ternyata Ratih masih khawatir juga tentang diriku sehingga tiap malam selalu mengirim SMS menanyakan apa yang aku lakukan selama hari ini? Diantara kami berempat hanya aku dan Partini yang sudah menikah sedangkan yang lain masih bujang. Gara-gara senasib itulah tiap malam kami sering curhat tentang problema yang dihadapi keluarga masing-masing. Partini juga sering mengeluh karena suaminya sekarang bekerja di Sulawesi dan hanya lebaran saja dia pulang. Jadi Partini lebih sering merasa kesepian dibanding diriku.
“Mas jika kamu menjadi diriku apa yang akan kau lakukan?” Tanya Partini suatu malam kepadaku ketika aku sedang mentranskip data. Aku terdiam mencoba memahami maksud pertanyaannya. “Ya seperti yang kamu lakukan saat ini. Menurutku masing-masing manusia punya jalan hidup yang berbeda-beda tapi yang menjadi tujuan akhir sama yaitu kebahagiaan.” Partini menatapku lama dan mencoba mengerti apa yang kukatakan. “Tapi kalau aku merasa menikah dengan orang yang salah gimana? Dan aku merasa bahagia jika bersama orang yang bukan suamiku gimana?” Kali ini aku lebih terdiam dan menatap dalam mata Partini yang tampak bersinar.

RENCANA penelitian ke Bali memang sudah lama kami pikirkan. Kami berdelapan memang alumnus sebuah perguruan tinggi negeri dan masih satu jurusan. Agar ilmu yang kami dapat tidak hilang kami sengaja membentuk sebuah komunitas agar kami bisa saling bertemu dan mengasah pikiran tentang ilmu yang kami dapat dan mencoba menerapkan dalam realita kehidupan bermasyarakat. Mengapa Bali yang kita pilih? Alasannya adalah agar kita bisa meneliti “the others” dari budaya kita sendiri. Sebab kami berdelapan adalah orang Jawa. Meskipun kami sadar perspektif ini sempit karena makna “the others” bukan melulu etnis lain namun way of life from others. Jadi way of live out of my self[1]. Namun menurut kami pentingnya lokasi penelitian bukan hanya masalah itu tapi budaya dari etnis tertentu akan mempengaruhi manusia yang berada di dalamnya. Sehingga jika kita berada di Bali kita akan terpengaruh budaya yang ada di sana begitu pula sebaliknya dan hal ini menurut kami lokasi penelitian itu memegang peranan yang penting.
Hari itu dengan semangat yang menggebu kami berdelapan sudah berada di atas gerbong kereta ekonomi dari Jogja menuju Banyuwangi. Setelah melewati peron dan masing-masing memegang tiket tebal dari kertas warna merah muda kami memilih gerbong nomer tiga dari depan. Duduk berhadapan dan berdesakan dengan penumpang lain. Setelah ngobrol ke sana ke mari akhirnya kami bosan juga, lalu aku mengambil sebuah buku untuk kubaca. Namun aku sempat terkejut ketika kakiku tiba-tiba tersentuh oleh sebuah benda seperti sapu ijuk, ternyata di sampingku ada seorang tukang sapu yang meminta sedekah. Baru melanjutkan membaca separuh halaman sudah ada pengamen yang mendekat, kemudian selang beberapa menit sudah ada tukang buah yang menawarkan dagangannya. Setelah itu suasana agak tenang sehingga aku bisa melanjutkan membacaku dan sudah dapat tiga halaman. Namun tiba-tiba dari arah belakang ada suara ssszzzzzttt…..ssszzzzttt….sssszzzztttt dan bau harum melati mulai menusuk hidung, kemudian ada tangan yang menengadah di sampingku. Uang receh di saku samping celanaku sudah habis dan mentari sudah mulai tenggelam di ufuk barat. Aku terpana ketika memandang ke jendela di luar terhampar rumah-rumah kosong yang terpendam lumpur. Di tengah-tengah ada seperti danau yang mengeluarkan asap mengepul ke udara. Pohon-pohon berkayu tampak kering kecoklatan padahal di bawahnya tergenang air dan lumpur. Laju kereta kemudian melambat dan berjalan pelan-pelan melewati genangan air itu. Kemudian melaju lagi dengan kecepatan tinggi setelah berhasil melewati jalan yang dipinggirnya menggunung tumpukan pasir dan tanah yang tingginya melebihi jalan utama.
Malam masih gelap ketika kami turun di stasiun Banyuwangi. Kami berdelapan berjalan kaki lalu berhenti di tepi dermaga dan karena lelah kami semua segera meletakkan semua tas ransel yang kami bawa.
“Ahh…..leganya bisa meluruskan kaki!” Komentar Paimin. “Lebih enak langsung tiduran gini!” timpuk Partini.
Aku cuma bengong mengagumi dermaga besar yang baru pertama kulihat itu. Belum ada sepuluh menit kami istirahat tiba-tiba dua orang pemuda mendatangi kami.
“Mau menyeberang pakai Bis langsung nggak? Kalau ia kami punya kursi kosong Rp.50.000,- satu kursi.
” Kami semua hanya saling pandang. Paijo yang pernah ke sini segera menyeletuk
“Ah kemahalan Beli, aku kemaren ke sini cuma Rp.25.000,- sudah termasuk penyeberangan Ferinya!”
“Itu kalau siang hari Mas, inikan malam hari!”
Semua lalu berunding kemudian kami sepakat untuk membayar Rp. 35.000,- per orang.
“I am fly!” seru Parjilah ketika kami berdiri di atas geladak kapal. Suasana malam hari tampak indah seperti kunang-kunang di tepi laut dari atas kapal. Aku lebih suka menyendiri menikmati kesunyian dan belaian udara malam yang dingin menusuk tengkuk. Namun ada sesuatu yang hangat tiba-tiba menempel di sikut kananku. Ketika aku menoleh ternyata lengan Partini yang mendekat dan menempel.
“Dingin ya?”
“He… em.”
“Kalau pergi jauh gini ingat anak istri nggak?”
“Ya iyalah!”
“Tapi mungkin kalau suamiku nggak.”
“Lho suamimu itu memangnya di mana sekarang?”
“Sulawesi.”
“Kalau lagi kangen sama istrimu kamu ngapain kalau pergi jauh?”
“SMS.”
“SMS?”
“Emangnya kenapa?”
“Nggak papa. Aneh aja?”
Sesampainya di seberang kami semua disuruh turun dari Bis. Kemudian jalan kaki berbaris untuk pemeriksaan KTP. Baru kali ini setelah penyeberangan ada pemeriksaan KTP. Kemudian kami melanjutkan perjalanan sampai terminal Ubung Denpasar. Begitu turun para sopir taksi segera berebut penumpang. Paijo yang pernah ke sini segera mengajak kami menuju sebuah mobil panther yang disewakan dan akhirnya kami berdelapan naik mobil itu menuju Pulau Serangan. Kami langsung menurunkan mereka berempat di depan Pura Sakenan kemudian aku dan yang lain langsung menuju Balai Konservasi Penyu. Setelah ngobrol beberapa lama dengan Wayan Sukara kami akhirnya menuju tempat penginapan kami.
Dua bulan adalah pekerjaan yang memusingkan karena berada di wilayah budaya yang berbeda. Pertama yang kami coba pahami adalah bahasa yang kadang berbeda logat. Kemudian istilah-istilah dan sistem budaya yang berlaku. Ada sesajian dan dupa di masing-masing rumah yang tiap pagi, siang, dan sore selalu didoakan dan diperciki air. Menjadi orang lain di budaya orang ternyata membuat kami menjadi liminal. Di kondisi seperti inilah kami hanya bisa menulis apa yang kami lihat, dengar, dan rasakan hari itu sebagai catatan lapangan. Selama dua bulan itulah kami punya catatan lapangan yang cukup banyak ditambah foto-foto dan rekaman kaset untuk mencoba kami susun menjadi sebuah tulisan etnografi.

PAGI itu dering suara short message service berbunyi lagi. Kali ini Hata Jora Lanjuni mendengar dan membuat dia terbangun dan menangis begitu pula Ratih ikut terjaga. Kucoba membuka kiriman SMS itu.
“Siapa?” Tanya Ratih sambil menimang-nimang Hata
“Parto lagi seperti biasa.”
“Parto siapa?”
“Temanku di Bali kemarin.”
“Handphonemu kemarin ketinggalan kan? Kubuka-buka isi SMSnya paling banyak dari Parto tapi mengapa bahasanya mesra banget? Aku jadi curiga jangan-jangan kamu kelainan. Beberapa hari kemudian Paijo ke sini lalu aku tanya siapa saja timmu yang ikut ke Bali. Ada Paijo, Paimin, Suradal yang lain empat wanita satu sudah punya suami. Sekarang aku tanya siapa Parto temanmu di Bali itu?”
Aku kali ini terdiam. Mata Ratih yang biasanya menyejukkan bagai telaga, pagi itu membelalak merah menyala seperti neraka.




Jogja, Mei 2008

[1] Terinspirasi dari kata-kata Kris Budiman dalam acara “Diskusi Menulis Novel Etnografi” yang diadakan di Kopi-Kopi Jl. Kartini, Sagan, Yogyakarta 10 Mei 2008.

Sabtu, 19 April 2008

Pembangkit Listrik Ramah Lingkungan

Ada rencana pemerintah mau mendirikan PLTN di Semenanjung Muria. Rencana ini dengan alasan bisa memasok kekurangan listrik Indonesia yang mulai menipis karena bahan baku fosil mulai menipis. Nuklir memang bisa membantu teknologi di beberapa bidang tapi untuk PLTN kami kira jangan dulu untuk Indonesia. Khususnya Jawa, masih banyak alternatif lain selain nuklir yang lebih ramah lingkungan dan berisiko rendah untuk keselamatan umat manusia seperti air dan udara juga panas matahari. Jawa merupakan daerah patahan yang masih rawan pergeseran lempeng bumi dan jika ada gempa ledakan nuklir dan radiasi besar akan tak terhindar. Oleh karena itu lupakan saja rencana pembangunan PLTN itu dan segera diganti dengan program baru seperti Pembangkit Listrik Tenaga Kincir Angin atau Tenaga Panas Matahari (Solar Cell). Demikianlah harusnya supaya Global Warming bisa dikurangi. Kalau tidak mulai dari diri kita sendiri, siapa lagi? Marilah kita ramah terhadap orang lain juga ramah terhadap lingkungan.

Minggu, 13 April 2008

Loh Ginawe

“Gemah ripah loh jinawi” kalimat ini mungkin begitu sering kita dengar namun ternyata menurut salah seorang kaur pembangunan di salah satu desa di Kulon Progo, kata tersebut salah. Bukan “loh jinawi” namun “loh ginawe”, tanah supaya “loh” atau subur harus “ginawe” atau dibuat. Jadi “loh ginawe” maksudnya tanah harus diolah sedemikian rupa sehingga menjadi subur. Hal tersebut diterapkan dalam pembuatan lahan pertanian agar menghasilkan tanaman dengan hasil panenan yang berkualitas. Akhir-akhir ini para petani Kulon Progo sedang giat-giatnya menggalakkan pertanian organik. Menurut beberapa ketua kelompok tani, lahan pertanian mereka sudah tidak begitu subur karena sudah terlalu lama menggunakan pupuk pabrik yang dalam jangka panjang ternyata merusak kesuburan tanah. Sehingga sekarang agar kondisi tanah subur seperti dulu pelan-pelan mereka mengurangi konsumsi pupuk pabrik dan menggantinya dengan pupuk kandang. Kelebihan lain dari penggunaan pupuk kandang adalah bisa sinerginya antara pertanian dan peternakan yang menjadi tulang punggung ekonomi para petani.
Kembalinya petani menerapkan sistem pertanian organik tidak serta merta bisa berjalan lancar karena para petani sudah terbiasa menggunakan pupuk pabrik yang lebih praktis dan mudah. Dulu sekitar awal tahun 80-an para petani sangat sulit untuk diajak menggunakan pupuk pabrik karena mereka sudah terbiasa menggunakan pupuk kandang. Namun lama kelamaan akhirnya petani terbiasa juga dan hal tersebut memanjakan mereka. Mereka tidak perlu belepotan dengan kotoran binatang dan tinggal beli disebar dan bersih. Namun efek jangka panjang sekarang mereka rasakan. Menurut salah seorang ketua kelompok tani, semakin lama produksi pertanian mereka menurun. Juga penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan berdampak pada kesehatan tubuh manusia yang memakannya. Sekarang setelah mereka terbiasa dengan pupuk kimia untuk diajak kembali ke pertanian organik juga bukan perkara yang mudah. Untuk panenan pertama hasilnya akan jauh dengan hasil produksi pupuk kimia namun untuk panenan ke-2 dan selanjutnya produksi yang dihasilkan tidak akan kalah dengan mereka yang menggunakan pupuk kimia. Ada nilai tambahnya yaitu konsumen mendapat beras yang lebih sehat bagi tubuh. Apalagi jika mereka menerapkan pola tanam SRI yaitu satu ceblokan hanya dikasih satu benih dengan jarak tertentu hasilnya akan lebih banyak.
Kendala yang para petani rasakan adalah sekarang generasi muda tidak ada yang mau menjadi petani. Mereka memilih kerja di pabrik atau jadi pelayan toko dan mal di kota-kota besar atau ikut bekerja di kapal pesiar yang gajinya pasti tiap bulan selalu ada dan minimal tetap. Tidak seperti para petani yang hasil tiap panennya belum tentu sama dan jika tidak benar-benar memahami dunia pertanian dan pasar bisa-bisa mereka tidak panen karena tanaman mereka terkena penyakit yang kadang tidak mereka ketahui bagaimana penanggulangannya. Hal-hal instant sudah dirasakan para petani dan hal tersebut berdampak pada jangka panjang. Menjadi seorang petanipun tidak bisa instant karena tentu saja hasil jangka panjangnya akan tidak baik bagi petani sendiri. Sebab mereka harus mengatur pola dan jadwal irigasi, umur tanaman, dan distribusi tenaga kerja. Bisa dibayangkan generasi muda yang terbiasa memegang handphone dan keyboard jika harus memegang cangkul pasti malamnya badannya akan kram semua. Setelah itu mereka kapok dan tidak akan mau lagi terjun ke sawah lalu kembali merantau dan semakin tercerabut dari akar budayanya. Bahkan mereka malu kalau temannya tahu bahwa dia anak petani.
Hal-hal yang menjadi kesulitan petani tidak hanya agar tanah mereka loh dan harus ginawe. Namun juga pola pikir generasi muda juga harus loh ginawe. Sebab banyak petani yang sudah mengaku kalau mencangkul mereka sudah sekeng. Semua lingkaran politik dan ekonomi di sekitar petani memang harus ginawe. Termasuk juga struktur-struktur di luar produksi seperti distribusi dan konsumsi juga harus ginawe agar menciptakan iklim yang loh bagi petani.

Jumat, 04 April 2008

Keseimbangan


Ada beberapa cerita yang sangat menarik dari salah seorang penasehat spiritual kejawen yang pernah berdialog dengan saya. Menurut Beliau kita itu sudah diberi karunia yang sangat ampuh yaitu pikiran yang tajam. Itu karunia yang luar biasa dan lebih dari cukup buat kita. Jika kita bisa menggunakannya dengan baik kita tidak akan kekurangan. Jangankan pikiran, jika kita punya sabit saja itu sudah cukup untuk hidup. Dengan sabit kita bisa menyabit rumput lalu kita jual, hasilnya dibelikan ayam sepasang, jika dipelihara dan beranak pinak hasilnya bisa kita belikan kambing. Kambing kita pelihara sepasang jika beranak pinak hasilnya bisa kita belikan sapi. Sapi kita pelihara jika beranak pinak hasilnya bisa kita gunakan untuk mengembangkan usaha yang lain dan bisa mempekerjakan dan menghidupi lebih banyak orang. Itu awalnya hanya dari sebuah sabit. Apalagi jika kita bisa menggunakan pikiran yang tajam.
Alam semesta ini dari awalnya sudah seimbang dan akan selalu menyeimbangkan diri bagaimanapun caranya. Perhatikan saja lingkungan sekitar kita yang masih alami. Ketika pohon buah berbunga akan muncul kupu-kupu, ketika kupu-kupu bertelur di daun, dalam bunga tadi sudah terjadi penyerbukan. Lalu menjadi biji dan berkembang perlahan menjadi buah muda. Bersamaan itu telur tadi sudah menjadi ulat. Ulat memakan daun. Berkurangnya daun akan memaksimalkan pertumbuhan buah. Setelah buah matang bisa dipetik atau jatuh dan menjadi tanaman baru. Untuk pisang misalnya dia akan layu, mengering dan mati setelah berbuah namun di sekitarnya akan muncul tunas-tunas baru. Sementara ulat tadi sudah berubah menjadi kepompong. Nanti ketika tanaman sudah ada yang berbunga, kepompong itu akan berubah menjadi kupu-kupu dan siklus itu akan terus berlanjut. Begitulah salah satu bagian sangat kecil dari keseimbangan alam semesta ini.
Sedulur papat limo pancer, manusia akan memperhatikan empat mata penjuru di sekitarnya dan satu hubungan dengan yang di atas. Falsafah Jawa ini mengandung arti yang dalam bahwa manusia itu pada kodratnya punya kepekaan akan keseimbangan dengan alam sekitar dan suatu kekuatan yang lebih besar yang ada di dalam dirinya dan di luar dirinya. Hanya semua itu dikembalikan lagi kepada manusia sendiri, apakah mereka mau mengasah semua karunia dan potensi dirinya ataukah membiarkannya menjadi tumpul?

Selasa, 01 April 2008

Tulisan Awal

Untuk para pembaca, selamat datang di blog kami. Saya sengaja tidak menggunakan kata "saya" sebab harapan saya ke depannya nanti blog ini bisa digunakan untuk ajang menulis, diskusi, brainstorming, atau apapun bentuk tuangan pikiran kita yang mewujud menjadi sesuatu entah karya, tulisan, atau masih berupa ide dan gagasan.
Banyak budaya di sekitar kita yang masih berupa bahasa tutur dan belum menjadi bahasa tulis. Ada juga bahasa tulis yang dibuat di era jaman dulu dan generasi sekarang kehilangan alat untuk menginterpretasinya sehingga menjadi bias karena sudah dipolitisir oleh penginterpretasi yang belum tentu tepat.
Di sekitar kita banyak kearifan yang sudah pernah ada yang bersifat universal, non diskriminasi, dan bisa dinikmati oleh semua. Namun karena ada beberapa pihak yang mencoba menguasainya karena ambisinya yang kurang bijak dan jernih sehingga hal tersebut malah menjadi komoditi golongan tertentu untuk menguatkan dominasi mereka. Saya kira hasil budaya ketika ia diciptakan dulu tidak dimaksudkan untuk itu. Hanya generasi penerusnya yang kurang bijak dan jernih itu tadi yang malah membelokkan tujuan mulia bagi semesta tersebut.