Jumat, 11 Juli 2008

Boso Walikan


Bahasa merupakan alat komunikasi penting bagi manusia. Dengan bahasa, manusia bisa menyampaikan ide gagasannya kepada pihak lain yang memahami makna bahasa yang sama. Bahkan dalam penelitian lapangan bahasa berperan sangat penting, baik dalam penggalian data di lapangan maupun penulisan etnografisnya.
Dalam membuat etnografi, bahasa menyusun catatan lapangan kita dan masuk ke dalam setiap analisis dan wawasan. Bahasa menyerap pertemuan kita dengan informan. Pendekatan apa pun yang digunakan sang etnografer –pengamatan terlibat, wawancara etnografis, mengumpulkan kisah-kisah kehidupan, campuran dari berbagai strategi- bahasa muncul pada setiap fase dalam proses penelitian. Etnografer setidaknya harus berhadapan dengan dua bahasa : bahasa mereka sendiri dan bahasa yang digunakan oleh informan. Jika kita membagi pekerjaan etnografi menjadi dua tugas utama, yaitu penemuan (discovery) dan deskripsi, maka kita dapat melihat dengan jelas peran penting yang dimainkan oleh bahasa (Spradley, 1979).
Di Jogja selain Bahasa Indonesia yang umum digunakan di lingkup formal. Masyarakatnya sehari-hari juga menggunakan Bahasa Jawa. Bahasa Jawa ini masih dibagi lagi ke tingkat bahasa yang berbeda penggunaannya antara: kromo inggil, kromo alus dan ngoko. Kromo Inggil digunakan oleh Orang Jawa dalam konteks rakyat berbicara kepada ratunya. Juga bisa digunakan dalam konteks tingkat yang lebih rendah kepada tingkat yang lebih tinggi baik dalam struktur maupun usia. Misal Lurah kepada Bupati atau anak kepada ayahnya sebagai simbol penghormatan. Kromo Alus digunakan dalam konteks tingkat yang lebih tinggi ke yang lebih rendah. Sedangkan Ngoko digunakan dalam konteks yang sejajar horisontal. Misal sesama teman sebaya.
Selain ketiga tingkat golongan tadi, ada juga bahasa yang juga hidup sebagai bahasa kelompok tertentu. Bahasa ini adalah boso walikan. Bahasa ini dulu hanya digunakan oleh sekelompok masyarakat golongan kelas bawah sebagai simbol identitas mereka. Kadang orang tidak mengerti dengan bahasa ini yang juga semakin dipopulerkan oleh generasi mudanya. Misal sering di Jogja kita kenal istilah: dagadu, sahany, pisu, jape methe, poya lesgi, hire dab, dll. Bahasa ini sebenarnya diciptakan berdasarkan rumusan tertentu dalam hanacaraka (tulisan Aksara Jawa).
Rumusan itu sebagai berikut: dalam Aksara Jawa itu, deretan nomor satu akan dipasangkan dengan deretan nomor tiga. Kemudian deretan nomor dua akan dipasangkan dengan deretan nomor empat. Dalam Aksara Jawa resmi kita kenal sebagai berikut:
ha na ca ra ka
da ta sa wa la
pa da ja ya nya
ma ga ba tha nga
Untuk memudahkan memahami boso walikan tadi kita contohkan misal kata bapak. Kata ini terdiri dari ba-pa-k. Kita cari ba ada di baris ke 4 kolom 3 akan kita pasangkan dengan baris ke 2 kolom 3 yaitu sa. Kemudian pa ada di baris ke 3 kolom 1 akan kita pasangkan dengan baris pertama kolom 1 yaitu ha. Kemudian k ada di baris pertama kolom 5 akan kita pasangkan dengan baris ke 3 kolom 5 yaitu ny. Jadi boso walikan dari bapak= sahany.
Untuk contoh lain misal kata kowe (kamu), terdiri dari ko-we. Ko ada di baris pertama kolom 5. Kita pasangkan dengan baris ke 3 kolom 5 yaitu nyo. Terus we ada di baris ke 2 kolom 4, akan kita pasangkan dengan baris ke 4 kolom 4 yaitu the, Jadi boso walikan dari kowe= nyothe.
Demikianlah rumusan boso walikan yang kadang kita dengar di sela-sela percakapan anak muda di Jogja. Banyak pengguna bahasa ini adalah kelompok tertentu yang biasanya adalah kelas grass rott di Jogja (Akur).

Tidak ada komentar: