Selasa, 13 Mei 2008

Mancing

Pagi itu aku tersentak kaget. Dering suara short message service terdengar dari handphoneku di samping bantal. Untung saja istriku tertidur lelap dan anakku yang belum berumur dua tahun itu tidak terbangun. Suara adzan subuh belum terdengar, berarti masih pagi benar. Kucoba mengusap mata untuk melihat jam di handphoneku, tapi masih samar-samar dan belum jelas. Mau tak mau akhirnya aku duduk juga. Memencet unlock kemudian tanda bintang, lalu open message. “Aduh ngapain ini Parto pagi-pagi sudah ngesems?” Batinku. “Yang, malam ini aku tak bisa tidur kangen banget sama kamu” Kubaca message itu lalu kuhapus.
Pipiku terasa basah di kanan dan kiri. Rasanya ada sepasang tangan yang menempel. Kubuka mataku pelan-pelan, muncul wajah istriku tepat di depanku. “Sudah subuh, sholat dulu sana!” Kelihatannya dia habis menanak nasi dan mencuci piring serta gelas yang kotor kemarin. Mungkin Hata Jora anakku terlalu rewel kemaren sehingga istriku tidak sempat mencuci piring. Kuberi nama Hata Jora merupakan kependekan dari hasil cinta Joyo dan Ratih istriku. Tadinya mau kunamai Hacin Jora tapi Hacin kelihatannya agak lucu lalu kutetapkan menjadi Hata. Hata Jora Lanjuni lengkapnya, hasil cinta Joyo dan Ratih di Bulan Juni. Setelah sholat kulihat anakku masih tertidur lelap, namun mengapa pagi-pagi istriku sudah berdandan dan terkesan manja banget. Jika sudah begitu biasanya akan ada serangan fajar pagi ini.
Akhir bulan, keuangan sudah menipis bahkan kanker. Sebagai penulis harus ada sesuatu karya yang diwujudkan agar bisa dimuat di koran minggu sehingga dapur bisa mengepul kembali dan penyakit kankerku sembuh. Tapi ditengah tengah kondisi harga susu yang semakin menonjol dan harga pisang yang ikut naik turun, membuat imajinasi semakin tidak jernih. Ditambah lagi Ratih jika akhir bulan akan selalu mengomel dari pagi. Jarang manja lagi dan yang diucapkannya selalu kata-kata itu. “Mbok ya cari pekerjaan yang tetap sehingga akhir bulan gini tidak semakin stress!” Jika sudah begitu jelas kondisi rumah sudah tidak memungkinkan lagi untuk menulis dan menghasilkan karya. Obat stress itu ternyata mahal, jika begitu aku akan mengajak Terong dan Toples untuk mancing dan bukannya menghasilkan sesuatu tapi malah menambah biaya pengeluaran. Tapi dengan melihat kambangan dan gemericik air apa lagi bisa mengangkat ikan besar bisa melupakan sejenak energi-energi negatif yang menghujam. Kadang di atas kolam aku bisa mengeluarkan semua sampah bawah sadarku yang tak mungkin kukeluarkan di rumah. “Yihaaaa……dapat besar sekaliiiii…!” Pulang ke rumah bisa bawa lauk untuk tiga hari dan selama tiga hari itu Ratih tak akan mengomel lagi dan aku bisa menulis.
“Mas Joyo lagi ngapain?” Walah ini Parto ngapain lagi masih ngesems terus. Kali ini Ratih dengar dan tanya “SMS dari siapa?” Kali ini aku harus jujur. “Dari Parto temanku di Bali kemaren.” Sebagai penulis aku tidak bisa menulis hanya di depan komputer terus, untuk mencari inspirasi aku perlu penelitian ke lokasi langsung. Melihat, mendengar, dan merasakan, mencium bau yang ada di sekitar lokasi tersebut. Kebetulan beberapa bulan yang lalu aku bersama delapan orang teman kuliah dulu akan menulis tentang Bali. Lama kami penelitian di sana sekitar 2 bulan lamanya. Ratih dulu pernah satu tim denganku waktu penelitian sehingga dia sudah paham jika kutinggal lama dan gara-gara penelitian juga aku bertemu dengan istriku dan akhirnya menikah dan baru punya anak satu Hata Jora Lanjuni. Dua bulan itu, kami berdelapan live in di suatu pulau di Bali di mana di sana ada tempat untuk konservasi penyu. Kedelapan temanku itu, Paijo, Paimin, Suradal, Ngatini, Partini, Jamilah, dan Parjilah. Untuk lebih efektif kami membagi diri menjadi dua tim: Aku, Paijo, Partini dan Parjilah tinggal di sekitar Bali Turtle Island Development. Sedangkan Paimin, Suradal, Ngatini, dan Jamilah tinggal di dekat Pura Sakenan. Kami masing-masing mencatat setiap detil kejadian dan pembicaraan yang kami lakukan selama dua bulan di Pulau Serangan tersebut.
Meskipun Ratih pernah satu tim penelitian denganku tapi tidak satu fakultas, bahkan tidak satu universitas. Dulu kami ikut penelitian di Proyek Survei Energi Alternatif Masyarakat selama dua bulan dan gara-gara terbiasa berdua itu mungkin cinta bersemi diantara kami lalu kami jadian dan selang tiga bulan kami menikah dengan biaya seadanya. Meskipun sudah tahu dunia penelitian ternyata Ratih masih khawatir juga tentang diriku sehingga tiap malam selalu mengirim SMS menanyakan apa yang aku lakukan selama hari ini? Diantara kami berempat hanya aku dan Partini yang sudah menikah sedangkan yang lain masih bujang. Gara-gara senasib itulah tiap malam kami sering curhat tentang problema yang dihadapi keluarga masing-masing. Partini juga sering mengeluh karena suaminya sekarang bekerja di Sulawesi dan hanya lebaran saja dia pulang. Jadi Partini lebih sering merasa kesepian dibanding diriku.
“Mas jika kamu menjadi diriku apa yang akan kau lakukan?” Tanya Partini suatu malam kepadaku ketika aku sedang mentranskip data. Aku terdiam mencoba memahami maksud pertanyaannya. “Ya seperti yang kamu lakukan saat ini. Menurutku masing-masing manusia punya jalan hidup yang berbeda-beda tapi yang menjadi tujuan akhir sama yaitu kebahagiaan.” Partini menatapku lama dan mencoba mengerti apa yang kukatakan. “Tapi kalau aku merasa menikah dengan orang yang salah gimana? Dan aku merasa bahagia jika bersama orang yang bukan suamiku gimana?” Kali ini aku lebih terdiam dan menatap dalam mata Partini yang tampak bersinar.

RENCANA penelitian ke Bali memang sudah lama kami pikirkan. Kami berdelapan memang alumnus sebuah perguruan tinggi negeri dan masih satu jurusan. Agar ilmu yang kami dapat tidak hilang kami sengaja membentuk sebuah komunitas agar kami bisa saling bertemu dan mengasah pikiran tentang ilmu yang kami dapat dan mencoba menerapkan dalam realita kehidupan bermasyarakat. Mengapa Bali yang kita pilih? Alasannya adalah agar kita bisa meneliti “the others” dari budaya kita sendiri. Sebab kami berdelapan adalah orang Jawa. Meskipun kami sadar perspektif ini sempit karena makna “the others” bukan melulu etnis lain namun way of life from others. Jadi way of live out of my self[1]. Namun menurut kami pentingnya lokasi penelitian bukan hanya masalah itu tapi budaya dari etnis tertentu akan mempengaruhi manusia yang berada di dalamnya. Sehingga jika kita berada di Bali kita akan terpengaruh budaya yang ada di sana begitu pula sebaliknya dan hal ini menurut kami lokasi penelitian itu memegang peranan yang penting.
Hari itu dengan semangat yang menggebu kami berdelapan sudah berada di atas gerbong kereta ekonomi dari Jogja menuju Banyuwangi. Setelah melewati peron dan masing-masing memegang tiket tebal dari kertas warna merah muda kami memilih gerbong nomer tiga dari depan. Duduk berhadapan dan berdesakan dengan penumpang lain. Setelah ngobrol ke sana ke mari akhirnya kami bosan juga, lalu aku mengambil sebuah buku untuk kubaca. Namun aku sempat terkejut ketika kakiku tiba-tiba tersentuh oleh sebuah benda seperti sapu ijuk, ternyata di sampingku ada seorang tukang sapu yang meminta sedekah. Baru melanjutkan membaca separuh halaman sudah ada pengamen yang mendekat, kemudian selang beberapa menit sudah ada tukang buah yang menawarkan dagangannya. Setelah itu suasana agak tenang sehingga aku bisa melanjutkan membacaku dan sudah dapat tiga halaman. Namun tiba-tiba dari arah belakang ada suara ssszzzzzttt…..ssszzzzttt….sssszzzztttt dan bau harum melati mulai menusuk hidung, kemudian ada tangan yang menengadah di sampingku. Uang receh di saku samping celanaku sudah habis dan mentari sudah mulai tenggelam di ufuk barat. Aku terpana ketika memandang ke jendela di luar terhampar rumah-rumah kosong yang terpendam lumpur. Di tengah-tengah ada seperti danau yang mengeluarkan asap mengepul ke udara. Pohon-pohon berkayu tampak kering kecoklatan padahal di bawahnya tergenang air dan lumpur. Laju kereta kemudian melambat dan berjalan pelan-pelan melewati genangan air itu. Kemudian melaju lagi dengan kecepatan tinggi setelah berhasil melewati jalan yang dipinggirnya menggunung tumpukan pasir dan tanah yang tingginya melebihi jalan utama.
Malam masih gelap ketika kami turun di stasiun Banyuwangi. Kami berdelapan berjalan kaki lalu berhenti di tepi dermaga dan karena lelah kami semua segera meletakkan semua tas ransel yang kami bawa.
“Ahh…..leganya bisa meluruskan kaki!” Komentar Paimin. “Lebih enak langsung tiduran gini!” timpuk Partini.
Aku cuma bengong mengagumi dermaga besar yang baru pertama kulihat itu. Belum ada sepuluh menit kami istirahat tiba-tiba dua orang pemuda mendatangi kami.
“Mau menyeberang pakai Bis langsung nggak? Kalau ia kami punya kursi kosong Rp.50.000,- satu kursi.
” Kami semua hanya saling pandang. Paijo yang pernah ke sini segera menyeletuk
“Ah kemahalan Beli, aku kemaren ke sini cuma Rp.25.000,- sudah termasuk penyeberangan Ferinya!”
“Itu kalau siang hari Mas, inikan malam hari!”
Semua lalu berunding kemudian kami sepakat untuk membayar Rp. 35.000,- per orang.
“I am fly!” seru Parjilah ketika kami berdiri di atas geladak kapal. Suasana malam hari tampak indah seperti kunang-kunang di tepi laut dari atas kapal. Aku lebih suka menyendiri menikmati kesunyian dan belaian udara malam yang dingin menusuk tengkuk. Namun ada sesuatu yang hangat tiba-tiba menempel di sikut kananku. Ketika aku menoleh ternyata lengan Partini yang mendekat dan menempel.
“Dingin ya?”
“He… em.”
“Kalau pergi jauh gini ingat anak istri nggak?”
“Ya iyalah!”
“Tapi mungkin kalau suamiku nggak.”
“Lho suamimu itu memangnya di mana sekarang?”
“Sulawesi.”
“Kalau lagi kangen sama istrimu kamu ngapain kalau pergi jauh?”
“SMS.”
“SMS?”
“Emangnya kenapa?”
“Nggak papa. Aneh aja?”
Sesampainya di seberang kami semua disuruh turun dari Bis. Kemudian jalan kaki berbaris untuk pemeriksaan KTP. Baru kali ini setelah penyeberangan ada pemeriksaan KTP. Kemudian kami melanjutkan perjalanan sampai terminal Ubung Denpasar. Begitu turun para sopir taksi segera berebut penumpang. Paijo yang pernah ke sini segera mengajak kami menuju sebuah mobil panther yang disewakan dan akhirnya kami berdelapan naik mobil itu menuju Pulau Serangan. Kami langsung menurunkan mereka berempat di depan Pura Sakenan kemudian aku dan yang lain langsung menuju Balai Konservasi Penyu. Setelah ngobrol beberapa lama dengan Wayan Sukara kami akhirnya menuju tempat penginapan kami.
Dua bulan adalah pekerjaan yang memusingkan karena berada di wilayah budaya yang berbeda. Pertama yang kami coba pahami adalah bahasa yang kadang berbeda logat. Kemudian istilah-istilah dan sistem budaya yang berlaku. Ada sesajian dan dupa di masing-masing rumah yang tiap pagi, siang, dan sore selalu didoakan dan diperciki air. Menjadi orang lain di budaya orang ternyata membuat kami menjadi liminal. Di kondisi seperti inilah kami hanya bisa menulis apa yang kami lihat, dengar, dan rasakan hari itu sebagai catatan lapangan. Selama dua bulan itulah kami punya catatan lapangan yang cukup banyak ditambah foto-foto dan rekaman kaset untuk mencoba kami susun menjadi sebuah tulisan etnografi.

PAGI itu dering suara short message service berbunyi lagi. Kali ini Hata Jora Lanjuni mendengar dan membuat dia terbangun dan menangis begitu pula Ratih ikut terjaga. Kucoba membuka kiriman SMS itu.
“Siapa?” Tanya Ratih sambil menimang-nimang Hata
“Parto lagi seperti biasa.”
“Parto siapa?”
“Temanku di Bali kemarin.”
“Handphonemu kemarin ketinggalan kan? Kubuka-buka isi SMSnya paling banyak dari Parto tapi mengapa bahasanya mesra banget? Aku jadi curiga jangan-jangan kamu kelainan. Beberapa hari kemudian Paijo ke sini lalu aku tanya siapa saja timmu yang ikut ke Bali. Ada Paijo, Paimin, Suradal yang lain empat wanita satu sudah punya suami. Sekarang aku tanya siapa Parto temanmu di Bali itu?”
Aku kali ini terdiam. Mata Ratih yang biasanya menyejukkan bagai telaga, pagi itu membelalak merah menyala seperti neraka.




Jogja, Mei 2008

[1] Terinspirasi dari kata-kata Kris Budiman dalam acara “Diskusi Menulis Novel Etnografi” yang diadakan di Kopi-Kopi Jl. Kartini, Sagan, Yogyakarta 10 Mei 2008.