Sabtu, 19 April 2008

Pembangkit Listrik Ramah Lingkungan

Ada rencana pemerintah mau mendirikan PLTN di Semenanjung Muria. Rencana ini dengan alasan bisa memasok kekurangan listrik Indonesia yang mulai menipis karena bahan baku fosil mulai menipis. Nuklir memang bisa membantu teknologi di beberapa bidang tapi untuk PLTN kami kira jangan dulu untuk Indonesia. Khususnya Jawa, masih banyak alternatif lain selain nuklir yang lebih ramah lingkungan dan berisiko rendah untuk keselamatan umat manusia seperti air dan udara juga panas matahari. Jawa merupakan daerah patahan yang masih rawan pergeseran lempeng bumi dan jika ada gempa ledakan nuklir dan radiasi besar akan tak terhindar. Oleh karena itu lupakan saja rencana pembangunan PLTN itu dan segera diganti dengan program baru seperti Pembangkit Listrik Tenaga Kincir Angin atau Tenaga Panas Matahari (Solar Cell). Demikianlah harusnya supaya Global Warming bisa dikurangi. Kalau tidak mulai dari diri kita sendiri, siapa lagi? Marilah kita ramah terhadap orang lain juga ramah terhadap lingkungan.

Minggu, 13 April 2008

Loh Ginawe

“Gemah ripah loh jinawi” kalimat ini mungkin begitu sering kita dengar namun ternyata menurut salah seorang kaur pembangunan di salah satu desa di Kulon Progo, kata tersebut salah. Bukan “loh jinawi” namun “loh ginawe”, tanah supaya “loh” atau subur harus “ginawe” atau dibuat. Jadi “loh ginawe” maksudnya tanah harus diolah sedemikian rupa sehingga menjadi subur. Hal tersebut diterapkan dalam pembuatan lahan pertanian agar menghasilkan tanaman dengan hasil panenan yang berkualitas. Akhir-akhir ini para petani Kulon Progo sedang giat-giatnya menggalakkan pertanian organik. Menurut beberapa ketua kelompok tani, lahan pertanian mereka sudah tidak begitu subur karena sudah terlalu lama menggunakan pupuk pabrik yang dalam jangka panjang ternyata merusak kesuburan tanah. Sehingga sekarang agar kondisi tanah subur seperti dulu pelan-pelan mereka mengurangi konsumsi pupuk pabrik dan menggantinya dengan pupuk kandang. Kelebihan lain dari penggunaan pupuk kandang adalah bisa sinerginya antara pertanian dan peternakan yang menjadi tulang punggung ekonomi para petani.
Kembalinya petani menerapkan sistem pertanian organik tidak serta merta bisa berjalan lancar karena para petani sudah terbiasa menggunakan pupuk pabrik yang lebih praktis dan mudah. Dulu sekitar awal tahun 80-an para petani sangat sulit untuk diajak menggunakan pupuk pabrik karena mereka sudah terbiasa menggunakan pupuk kandang. Namun lama kelamaan akhirnya petani terbiasa juga dan hal tersebut memanjakan mereka. Mereka tidak perlu belepotan dengan kotoran binatang dan tinggal beli disebar dan bersih. Namun efek jangka panjang sekarang mereka rasakan. Menurut salah seorang ketua kelompok tani, semakin lama produksi pertanian mereka menurun. Juga penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan berdampak pada kesehatan tubuh manusia yang memakannya. Sekarang setelah mereka terbiasa dengan pupuk kimia untuk diajak kembali ke pertanian organik juga bukan perkara yang mudah. Untuk panenan pertama hasilnya akan jauh dengan hasil produksi pupuk kimia namun untuk panenan ke-2 dan selanjutnya produksi yang dihasilkan tidak akan kalah dengan mereka yang menggunakan pupuk kimia. Ada nilai tambahnya yaitu konsumen mendapat beras yang lebih sehat bagi tubuh. Apalagi jika mereka menerapkan pola tanam SRI yaitu satu ceblokan hanya dikasih satu benih dengan jarak tertentu hasilnya akan lebih banyak.
Kendala yang para petani rasakan adalah sekarang generasi muda tidak ada yang mau menjadi petani. Mereka memilih kerja di pabrik atau jadi pelayan toko dan mal di kota-kota besar atau ikut bekerja di kapal pesiar yang gajinya pasti tiap bulan selalu ada dan minimal tetap. Tidak seperti para petani yang hasil tiap panennya belum tentu sama dan jika tidak benar-benar memahami dunia pertanian dan pasar bisa-bisa mereka tidak panen karena tanaman mereka terkena penyakit yang kadang tidak mereka ketahui bagaimana penanggulangannya. Hal-hal instant sudah dirasakan para petani dan hal tersebut berdampak pada jangka panjang. Menjadi seorang petanipun tidak bisa instant karena tentu saja hasil jangka panjangnya akan tidak baik bagi petani sendiri. Sebab mereka harus mengatur pola dan jadwal irigasi, umur tanaman, dan distribusi tenaga kerja. Bisa dibayangkan generasi muda yang terbiasa memegang handphone dan keyboard jika harus memegang cangkul pasti malamnya badannya akan kram semua. Setelah itu mereka kapok dan tidak akan mau lagi terjun ke sawah lalu kembali merantau dan semakin tercerabut dari akar budayanya. Bahkan mereka malu kalau temannya tahu bahwa dia anak petani.
Hal-hal yang menjadi kesulitan petani tidak hanya agar tanah mereka loh dan harus ginawe. Namun juga pola pikir generasi muda juga harus loh ginawe. Sebab banyak petani yang sudah mengaku kalau mencangkul mereka sudah sekeng. Semua lingkaran politik dan ekonomi di sekitar petani memang harus ginawe. Termasuk juga struktur-struktur di luar produksi seperti distribusi dan konsumsi juga harus ginawe agar menciptakan iklim yang loh bagi petani.

Jumat, 04 April 2008

Keseimbangan


Ada beberapa cerita yang sangat menarik dari salah seorang penasehat spiritual kejawen yang pernah berdialog dengan saya. Menurut Beliau kita itu sudah diberi karunia yang sangat ampuh yaitu pikiran yang tajam. Itu karunia yang luar biasa dan lebih dari cukup buat kita. Jika kita bisa menggunakannya dengan baik kita tidak akan kekurangan. Jangankan pikiran, jika kita punya sabit saja itu sudah cukup untuk hidup. Dengan sabit kita bisa menyabit rumput lalu kita jual, hasilnya dibelikan ayam sepasang, jika dipelihara dan beranak pinak hasilnya bisa kita belikan kambing. Kambing kita pelihara sepasang jika beranak pinak hasilnya bisa kita belikan sapi. Sapi kita pelihara jika beranak pinak hasilnya bisa kita gunakan untuk mengembangkan usaha yang lain dan bisa mempekerjakan dan menghidupi lebih banyak orang. Itu awalnya hanya dari sebuah sabit. Apalagi jika kita bisa menggunakan pikiran yang tajam.
Alam semesta ini dari awalnya sudah seimbang dan akan selalu menyeimbangkan diri bagaimanapun caranya. Perhatikan saja lingkungan sekitar kita yang masih alami. Ketika pohon buah berbunga akan muncul kupu-kupu, ketika kupu-kupu bertelur di daun, dalam bunga tadi sudah terjadi penyerbukan. Lalu menjadi biji dan berkembang perlahan menjadi buah muda. Bersamaan itu telur tadi sudah menjadi ulat. Ulat memakan daun. Berkurangnya daun akan memaksimalkan pertumbuhan buah. Setelah buah matang bisa dipetik atau jatuh dan menjadi tanaman baru. Untuk pisang misalnya dia akan layu, mengering dan mati setelah berbuah namun di sekitarnya akan muncul tunas-tunas baru. Sementara ulat tadi sudah berubah menjadi kepompong. Nanti ketika tanaman sudah ada yang berbunga, kepompong itu akan berubah menjadi kupu-kupu dan siklus itu akan terus berlanjut. Begitulah salah satu bagian sangat kecil dari keseimbangan alam semesta ini.
Sedulur papat limo pancer, manusia akan memperhatikan empat mata penjuru di sekitarnya dan satu hubungan dengan yang di atas. Falsafah Jawa ini mengandung arti yang dalam bahwa manusia itu pada kodratnya punya kepekaan akan keseimbangan dengan alam sekitar dan suatu kekuatan yang lebih besar yang ada di dalam dirinya dan di luar dirinya. Hanya semua itu dikembalikan lagi kepada manusia sendiri, apakah mereka mau mengasah semua karunia dan potensi dirinya ataukah membiarkannya menjadi tumpul?

Selasa, 01 April 2008

Tulisan Awal

Untuk para pembaca, selamat datang di blog kami. Saya sengaja tidak menggunakan kata "saya" sebab harapan saya ke depannya nanti blog ini bisa digunakan untuk ajang menulis, diskusi, brainstorming, atau apapun bentuk tuangan pikiran kita yang mewujud menjadi sesuatu entah karya, tulisan, atau masih berupa ide dan gagasan.
Banyak budaya di sekitar kita yang masih berupa bahasa tutur dan belum menjadi bahasa tulis. Ada juga bahasa tulis yang dibuat di era jaman dulu dan generasi sekarang kehilangan alat untuk menginterpretasinya sehingga menjadi bias karena sudah dipolitisir oleh penginterpretasi yang belum tentu tepat.
Di sekitar kita banyak kearifan yang sudah pernah ada yang bersifat universal, non diskriminasi, dan bisa dinikmati oleh semua. Namun karena ada beberapa pihak yang mencoba menguasainya karena ambisinya yang kurang bijak dan jernih sehingga hal tersebut malah menjadi komoditi golongan tertentu untuk menguatkan dominasi mereka. Saya kira hasil budaya ketika ia diciptakan dulu tidak dimaksudkan untuk itu. Hanya generasi penerusnya yang kurang bijak dan jernih itu tadi yang malah membelokkan tujuan mulia bagi semesta tersebut.