Minggu, 13 April 2008

Loh Ginawe

“Gemah ripah loh jinawi” kalimat ini mungkin begitu sering kita dengar namun ternyata menurut salah seorang kaur pembangunan di salah satu desa di Kulon Progo, kata tersebut salah. Bukan “loh jinawi” namun “loh ginawe”, tanah supaya “loh” atau subur harus “ginawe” atau dibuat. Jadi “loh ginawe” maksudnya tanah harus diolah sedemikian rupa sehingga menjadi subur. Hal tersebut diterapkan dalam pembuatan lahan pertanian agar menghasilkan tanaman dengan hasil panenan yang berkualitas. Akhir-akhir ini para petani Kulon Progo sedang giat-giatnya menggalakkan pertanian organik. Menurut beberapa ketua kelompok tani, lahan pertanian mereka sudah tidak begitu subur karena sudah terlalu lama menggunakan pupuk pabrik yang dalam jangka panjang ternyata merusak kesuburan tanah. Sehingga sekarang agar kondisi tanah subur seperti dulu pelan-pelan mereka mengurangi konsumsi pupuk pabrik dan menggantinya dengan pupuk kandang. Kelebihan lain dari penggunaan pupuk kandang adalah bisa sinerginya antara pertanian dan peternakan yang menjadi tulang punggung ekonomi para petani.
Kembalinya petani menerapkan sistem pertanian organik tidak serta merta bisa berjalan lancar karena para petani sudah terbiasa menggunakan pupuk pabrik yang lebih praktis dan mudah. Dulu sekitar awal tahun 80-an para petani sangat sulit untuk diajak menggunakan pupuk pabrik karena mereka sudah terbiasa menggunakan pupuk kandang. Namun lama kelamaan akhirnya petani terbiasa juga dan hal tersebut memanjakan mereka. Mereka tidak perlu belepotan dengan kotoran binatang dan tinggal beli disebar dan bersih. Namun efek jangka panjang sekarang mereka rasakan. Menurut salah seorang ketua kelompok tani, semakin lama produksi pertanian mereka menurun. Juga penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang berlebihan berdampak pada kesehatan tubuh manusia yang memakannya. Sekarang setelah mereka terbiasa dengan pupuk kimia untuk diajak kembali ke pertanian organik juga bukan perkara yang mudah. Untuk panenan pertama hasilnya akan jauh dengan hasil produksi pupuk kimia namun untuk panenan ke-2 dan selanjutnya produksi yang dihasilkan tidak akan kalah dengan mereka yang menggunakan pupuk kimia. Ada nilai tambahnya yaitu konsumen mendapat beras yang lebih sehat bagi tubuh. Apalagi jika mereka menerapkan pola tanam SRI yaitu satu ceblokan hanya dikasih satu benih dengan jarak tertentu hasilnya akan lebih banyak.
Kendala yang para petani rasakan adalah sekarang generasi muda tidak ada yang mau menjadi petani. Mereka memilih kerja di pabrik atau jadi pelayan toko dan mal di kota-kota besar atau ikut bekerja di kapal pesiar yang gajinya pasti tiap bulan selalu ada dan minimal tetap. Tidak seperti para petani yang hasil tiap panennya belum tentu sama dan jika tidak benar-benar memahami dunia pertanian dan pasar bisa-bisa mereka tidak panen karena tanaman mereka terkena penyakit yang kadang tidak mereka ketahui bagaimana penanggulangannya. Hal-hal instant sudah dirasakan para petani dan hal tersebut berdampak pada jangka panjang. Menjadi seorang petanipun tidak bisa instant karena tentu saja hasil jangka panjangnya akan tidak baik bagi petani sendiri. Sebab mereka harus mengatur pola dan jadwal irigasi, umur tanaman, dan distribusi tenaga kerja. Bisa dibayangkan generasi muda yang terbiasa memegang handphone dan keyboard jika harus memegang cangkul pasti malamnya badannya akan kram semua. Setelah itu mereka kapok dan tidak akan mau lagi terjun ke sawah lalu kembali merantau dan semakin tercerabut dari akar budayanya. Bahkan mereka malu kalau temannya tahu bahwa dia anak petani.
Hal-hal yang menjadi kesulitan petani tidak hanya agar tanah mereka loh dan harus ginawe. Namun juga pola pikir generasi muda juga harus loh ginawe. Sebab banyak petani yang sudah mengaku kalau mencangkul mereka sudah sekeng. Semua lingkaran politik dan ekonomi di sekitar petani memang harus ginawe. Termasuk juga struktur-struktur di luar produksi seperti distribusi dan konsumsi juga harus ginawe agar menciptakan iklim yang loh bagi petani.

Tidak ada komentar: