Jumat, 11 Juli 2008

Etnografi Kolam Air Tawar

Oleh: Septa Agung Kurniawan
Dalam antropologi, aliran Etnosains dapat dikatakan sebagai pendekatan yang menggunakan metode baru, walaupun dasar dari pendekatan ini tidaklah baru. Kita dapat merunutnya kembali pada Malinowski, yang pada tahun 1920-an telah mencanangkan bahwa tujuan terakhir seorang penulis (baca: ahli antropologi) adalah “to grasp the native’s point of view, his relation to life to realize his vision of his world” (Malinowski, 1961:25). Jadi sebenarnya lebih tepat dikatakan bahwa ethnoscience adalah “system of knowledge and cognition typical of given culture” (Sturtevant, 1964:99-100), bukannya metode penelitian. Penekanannya di sini adalah pada sistem pengetahuan, yang merupakan pengetahuan yang khas dari suatu masyarakat, dan berbeda dengan sistem pengetahuan masyarakat yang lain. Mengingat pengetahuan ini sangat luas lingkupnya, bisa menyangkut berbagai macam hal, maka dalam penelitiannya seorang ahli antropologi biasanya tidak akan menggali semua isi pengetahuan yang ada, melainkan hanya pengetahuan tentang hal-hal tertentu saja dalam kehidupan atau dunia mereka, yang dia minati.[1]
Etnometodologi yang saya baca dalam artikel tersebut saya pahami sebagai sebuah metodologi untuk menggali data dari etnis atau subyek penelitian yang sedang kita teliti. Metode ini digunakan oleh peneliti agar bisa mencari alur pola yang tetap yang dipakai oleh masyarakat pengguna budaya tersebut. Saya mencoba menerapkannya untuk meneliti komunitas mancing yang banyak terdapat di sekitar kita.
Mancing atau dalam Bahasa Inggrisnya fishing merupakan kegiatan yang dilakukan manusia untuk menangkap ikan menggunakan alat bantu berupa senar. Meskipun istilah untuk masing-masing daerah bisa berbeda namun esensi yang dimaksud sama. Seperti di Karimunjawa istilah mancing ini ada yang menyebutnya nonda yaitu menangkap ikan dengan menggunakan senar dan kail. Mancing inipun jika digali sejarahnya mungkin merupakan kegiatan yang hampir tuanya dengan usia peradaban manusia sendiri ketika menemukan peralatan untuk memancing. Kita tidak akan menggali sejarah itu karena akan memerlukan waktu penelitian yang panjang. Saya hanya mencoba memaknai ketika melihat dan mengamati orang memancing saja di sekitar kita dalam tempo singkat atau dengan metode rapid observation.
Melihat orang memancing, mereka tidak sembarangan membawa alat pancing. Pertimbangan pertama adalah tempat. Bisa juga dikatakan pertimbangan pertama adalah ruang dan waktu. Apakah di sungai, di kolam, dan di laut. Kemudian waktunya apakah itu pagi, siang, atau malam. Memancing di laut tentu saja akan membutuhkan persiapan yang lebih lengkap dan biaya yang lebih tinggi. Paling murah biayanya adalah kalau mancing di sungai karena hanya modal umpan dan peralatan mancing. Kita akan mengambil sampel di kolam saja yang berada di tengah-tengah untuk masalah biaya tadi. Setelah tempat, pertimbangan selanjutnya cara memperoleh ikan. Jika sudah mengetahui tempat maka ikan yang biasanya ada di situ apa? Itulah yang akan ditangkap oleh pemancing dengan membawa umpan yang sesuai.
Memancing di kolam ternyata juga tidak sama. Ada beberapa kolam pemancingan yang menerapkan membayar per-kilo, tebasan, dan harian. Sistem kilo-an yaitu para pemancing akan dikenai biaya dari jumlah per-kilo dari jenis ikan yang dia tangkap. Harga per-kilo ikan akan lain-lain. Misal, lele akan lain dengan bawal, gurame, greskap, nila, tawes,tombro. Sistem per-kilo ini juga bisa diterapkan oleh pemilik pemancingan untuk membuka warung makan sekitar kolam pemancingan jadi ikan yang didapat bisa langsung dimasak dan dimakan di tempat itu. Paling mahal per-kilonya biasanya ikan gurame karena ikannya paling enak menurut salah seorang informan. Sistem tebasan adalah menghabiskan semua ikan yang ada di dalam kolam. Jika para pemancing mulai mancing dari jam 8 pagi biasanya pukul 15.00 mereka akan mengakhiri kegiatan memancing mereka kemudian oleh pemilik kolam ikan yang tersisa akan dijaring untuk dibawa pulang oleh para pemancing. Sistem harian adalah memancing selama 12 jam. Misal seorang pemancing mulai jam 8 pagi maka dia akan selesai jam 8 malam berapapun ikan yang dia peroleh membayarnya tetap sama. Dari semua sistem memancing tersebut punya keuntungan dan kelebihan masing-masing. Bagi pemula akan lebih menguntungkan dengan sistem per-kilo, sebab berapapun yang dia dapat akan dikenakan sesuai dengan ikan hasil tangkapannya. Namun bagi yang sudah berpengalaman atau profesional dia akan memilih sistem harian karena jika dia dapat banyak dan ikannya besar-besar dia akan untung. Sistem tebasan biasanya dilakukan oleh mereka yang hanya ingin hura-hura dulu sebelum makan ikan dan biasanya dilakukan oleh rombongan 20 orang lebih yang sengaja membeli semua ikan yang ada di kolam.
Untuk umpan ternyata masing-masing ikan punya makanan kegemaran. Sehingga bagi para pemancing profesional mereka akan paham umpan apa yang akan mereka bawa untuk menangkap jenis ikan apa. Seperti misal ikan bawal akan lebih suka makan umpan cacing. Ikan greskap lebih suka makan umpan berupa nasi, rumput, lumut, atau bekatul. Ikan tombro hampir sama dengan ikan greskap. Untuk nila biasanya juga suka makan umpan cacing. Untuk gurameh, hampir semua umpan bisa digunakan cacing, nasi, lumut, ataupun bekatul. Namun ada beberapa pemancing profesional yang meramu umpan dari berbagai rajikan seperti nasi, dicampur parutan jagung yang sudah matang, ditambah tempe busuk untuk memancing tombro dan greskap. Namun ada juga yang meramu dengan cara mereka sendiri-sendiri ada yang menambahi dengan kotoran ayam bahkan kotoran manusia.
Peralatan memancing juga merupakan hal yang menjadi penentu utama dapat atau tidaknya ikan. Selain walesan, senar yang digunakan harus pas ukurannya, termasuk ukuran pancing. Semua komposisi dari walesan, senar, pancing, kambangan dan pemberat harus pas. Teknik-teknik seperti nyendal[2], narik[3], nguncalke[4], nggulung[5], dan ngajar[6] harus dikuasai secara benar oleh para pemancing. Setelah mendapat ikan, ikan-ikan tersebut akan dimasukkan dalam kepis. [7] Selain harus menguasai teknik yang benar para pemancing juga harus paham aturan main dan sopan santun dalam kolam. Misal jika ada pemancing yang sudah nguncalke umpan maka pemancing lain senarnya tidak boleh menyilang atau numpang di atas pemancing yang sudah nguncalke lebih dulu. Selain itu ikan yang sudah berhasil terpancing tidak boleh dikembalikan lagi ke kolam.
Dari beberapa informan yang saya tanya ternyata dalam memancing mereka juga punya motivasi yang berbeda. Si A misal, dia suka mancing tiap sabtu untuk menghilangkan suntuk setelah seminggu bekerja berat dan pikiran stress. Dengan memancing, dia bisa melatih kesabarannya dan merefleksikan apa yang sudah dilakukan selama seminggu dan dia bisa segar lagi pikirannya di hari senin kemudian. Si B agak berbeda dengan A, dia suka mancing tiap minggu untuk mencari lauk makan buat anak dan istrinya untuk beberapa hari ke depan. Si C suka mancing karena ingin mempelajari masing-masing tempat pemancingan dan menerapkan teorinya yang dipunya misal apakah perlu pakai umpan apa di kolam ini, terus perlu pakai senar neklin apa tidak? Yang jelas motivasinya adalah hobi. Si D suka memancing karena ingin belajar dari para tetangganya yang sudah dicapnya sebagai pemancing profesional sedang dirinya adalah baru pemancing pemula. Si E memancing sebagai alasan agar dia bisa pacaran berdua bersama pacarnya di tepi kolam pemancingan. Si F berangkat mancing bersama anaknya yang masih TK untuk memperkenalkannya pada lingkungan dan agar anaknya nanti menyukai alam. Dari semua motivasi memancing itu ternyata banyak ragamnya sesuai kebutuhan mereka. Jadi mancing ternyata tidak hanya menangkap ikan dengan senar tapi banyak motivasi di baliknya.
Dari sisi pemilik kolam sendiri, ikan adalah sumber ekonomi. Dia memanajemen kolamnya dan menghitung untung ruginya dengan sistem yang diterapkan apakah akan dijadikan kolam kiloan, harian, atau tebasan, dia sudah punya pertimbangan ekonomi sendiri selama beberapa tahun berkecimpung di dunia perikanan. Sehingga dia paham bagaimana pembibitan dan pembesaran ikan serta kolam mana yang dialokasikan untuk pemancingan. Bisa juga dia hanya menyediakan kolam saja dan jika ikan habis dia akan langsung membeli ikan dari pedagang yang ikannya sudah besar-besar dan siap untuk dipancing.
Mancing akan membentuk komunitas hobi yang diantara anggotanya saling kenal. Dari perkenalan itu mereka akan punya pola dan jadwal tertentu. Mereka akan saling tukar informasi kolam mana yang akan menyelenggarakan tebasan, harian, kiloan. Bahkan jika ada waktu tertentu akan ada juga lomba mancing yang diorganisir dan mengundang beberapa sponsor. Di situlah ajang para profesional unjuk gigi. Begitulah pola komunitas para pemancing kolam ikan air tawar. Jika melihat dan anda mencoba langsung praktek memancing di kolam ikan air tawar, percayalah anda akan bengong jika tidak belajar dulu dari yang sudah berpengalaman. Setiap manusia khususnya para pemancing akan menguasai dunia perpancingannya. Mereka tahu di kedalaman berapa kail harus diletakkan. Bagaimana mereka harus meramu umpan. Ikan jenis apa saja yang terdapat di kolam itu dari bentuk tubuhnya dilihat dari atas kolam mereka sangat paham betul karena itulah ilmu yang mereka pelajari selama bertahun-tahun.

[1] Ahimsa Putra, Heddy Shri, Etnosains dan Etnometodologi: Sebuah Perbandingan dalam Jurnal Masyarakat Indonesia hal 110.
[2] Ketika kambangan terlihat tenggelam dimakan ikan, walesan harus disendal agar pancing segera menancap di bibir ikan.
[3] Setelah pancing tertancap, cara menarik senar juga harus benar.
[4] Menempatkan umpan pada posisi dan jarak yang diinginkan pemancing
[5] Menggulung senar
[6] Ikan yang sangat besar tidak bisa langsung digulung karena jika tidak hati-hati senar bisa putus, untuk menghindarinya maka ikan perlu dibuat lemas dulu di air baru setelah lemas bisa diangkat ke permukaan.
[7] Tempat ikan seperti jaring-jaring, bulat memanjang ke bawah biasanya diletakkan di depan pemancing, 2/3 tenggelam di kolam, 1/3 di permukaan dan diikatkan di salah satu cantolan di tepi kolam.

Boso Walikan


Bahasa merupakan alat komunikasi penting bagi manusia. Dengan bahasa, manusia bisa menyampaikan ide gagasannya kepada pihak lain yang memahami makna bahasa yang sama. Bahkan dalam penelitian lapangan bahasa berperan sangat penting, baik dalam penggalian data di lapangan maupun penulisan etnografisnya.
Dalam membuat etnografi, bahasa menyusun catatan lapangan kita dan masuk ke dalam setiap analisis dan wawasan. Bahasa menyerap pertemuan kita dengan informan. Pendekatan apa pun yang digunakan sang etnografer –pengamatan terlibat, wawancara etnografis, mengumpulkan kisah-kisah kehidupan, campuran dari berbagai strategi- bahasa muncul pada setiap fase dalam proses penelitian. Etnografer setidaknya harus berhadapan dengan dua bahasa : bahasa mereka sendiri dan bahasa yang digunakan oleh informan. Jika kita membagi pekerjaan etnografi menjadi dua tugas utama, yaitu penemuan (discovery) dan deskripsi, maka kita dapat melihat dengan jelas peran penting yang dimainkan oleh bahasa (Spradley, 1979).
Di Jogja selain Bahasa Indonesia yang umum digunakan di lingkup formal. Masyarakatnya sehari-hari juga menggunakan Bahasa Jawa. Bahasa Jawa ini masih dibagi lagi ke tingkat bahasa yang berbeda penggunaannya antara: kromo inggil, kromo alus dan ngoko. Kromo Inggil digunakan oleh Orang Jawa dalam konteks rakyat berbicara kepada ratunya. Juga bisa digunakan dalam konteks tingkat yang lebih rendah kepada tingkat yang lebih tinggi baik dalam struktur maupun usia. Misal Lurah kepada Bupati atau anak kepada ayahnya sebagai simbol penghormatan. Kromo Alus digunakan dalam konteks tingkat yang lebih tinggi ke yang lebih rendah. Sedangkan Ngoko digunakan dalam konteks yang sejajar horisontal. Misal sesama teman sebaya.
Selain ketiga tingkat golongan tadi, ada juga bahasa yang juga hidup sebagai bahasa kelompok tertentu. Bahasa ini adalah boso walikan. Bahasa ini dulu hanya digunakan oleh sekelompok masyarakat golongan kelas bawah sebagai simbol identitas mereka. Kadang orang tidak mengerti dengan bahasa ini yang juga semakin dipopulerkan oleh generasi mudanya. Misal sering di Jogja kita kenal istilah: dagadu, sahany, pisu, jape methe, poya lesgi, hire dab, dll. Bahasa ini sebenarnya diciptakan berdasarkan rumusan tertentu dalam hanacaraka (tulisan Aksara Jawa).
Rumusan itu sebagai berikut: dalam Aksara Jawa itu, deretan nomor satu akan dipasangkan dengan deretan nomor tiga. Kemudian deretan nomor dua akan dipasangkan dengan deretan nomor empat. Dalam Aksara Jawa resmi kita kenal sebagai berikut:
ha na ca ra ka
da ta sa wa la
pa da ja ya nya
ma ga ba tha nga
Untuk memudahkan memahami boso walikan tadi kita contohkan misal kata bapak. Kata ini terdiri dari ba-pa-k. Kita cari ba ada di baris ke 4 kolom 3 akan kita pasangkan dengan baris ke 2 kolom 3 yaitu sa. Kemudian pa ada di baris ke 3 kolom 1 akan kita pasangkan dengan baris pertama kolom 1 yaitu ha. Kemudian k ada di baris pertama kolom 5 akan kita pasangkan dengan baris ke 3 kolom 5 yaitu ny. Jadi boso walikan dari bapak= sahany.
Untuk contoh lain misal kata kowe (kamu), terdiri dari ko-we. Ko ada di baris pertama kolom 5. Kita pasangkan dengan baris ke 3 kolom 5 yaitu nyo. Terus we ada di baris ke 2 kolom 4, akan kita pasangkan dengan baris ke 4 kolom 4 yaitu the, Jadi boso walikan dari kowe= nyothe.
Demikianlah rumusan boso walikan yang kadang kita dengar di sela-sela percakapan anak muda di Jogja. Banyak pengguna bahasa ini adalah kelompok tertentu yang biasanya adalah kelas grass rott di Jogja (Akur).